Rabu, 20 April 2011

Aktualisasi Af'al wa aqwal Nabi, Sudahkah kita melakukannya???


Maulid Nabi 1432 H
Saat ini kita telah melewati bulan rabi’ul awal. Bulan kelahiran dari junjungan seluruh ummat islam sedunia yaitu Nabi Muhammad SAW. Sebagian dari muslim pun merayakan peringatan kelahiran Rasul dengan berbagai cara.
Hari kelahiran Nabi atau biasa kita sebut dengan mauled, memang tidak termaktub baik di dalam kitab suci Al-Qur’an ataupun sunnah Nabi. Peringatan ini mulai muncul setelah 3 masa terbaik yakni shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in. Bahkan, tidak sedikit ‘ulama ataupun cendikiawan islam yang menganggap peringatan mauled adalah bi’d’ah yang dapat menyesatkan ummat.
Tidak adanya catatan bahwa Nabi pernah merayakan hari kelahirannya, tidak juga ada anjuran, berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat, lebih mengkultuskannya ummat dengan shalawat yang berlebihan melebihi dzikir kepada Allah ditenggarai sebagai sebab mengapa ada yang menolak melaksanakan mauled.
Namun, dalam suatu riwayat dijelaskan, pernah ada seorang sahabat bertanya kepada Rasul perihal puasanya di hari senin. Rasul pun menjawab “Di hari itu aku dilahirkan, dan di hari itu pula Allah menurunkan wahyu kepadaku". Dalam riwayat lain disebutkan, Abu Lahab paman Nabi, meskipun ia mutlak mendapatkan siksa di neraka, namun di hari senin ia mendapatkan keringanan siksa sebab bergembira karena kelahiran keponakannya.
Bukan hanya itu, disetiap penyelenggaraan maulid, hampir bisa dipastikan banyak ummat yang hadir. Mereka datang untuk bersama-sama membangun ghirah dalam beribadah dan bershalawat. Tidak sedikit pula para dermawan yang bersedekah dan menggembirakan ummat yang hadir. Suasana ukhuwah islamiyyah pun dengan sendirinya terjalin penuh kehangatan.
Bukan hanya merayakan, bergembira saja atas Nabi Muhammad SAW memang dianjurkan serta merupakan bagian daripada ibadah kepada-Nya.
Qs. Yunus : 58  يَجْمَعُونَ مِمَّا خَيْرٌ هُوَ فَلْيَفْرَحُوا فَبِذَلِكَ وَبِرَحْمَتِهِ اللَّهِ بِفَضْلِ قُلْ
" Katakanlah dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya , hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".

Ayat tersebut telah memerintahkan kita untuk bergembira atas rahmat yang Allah berikan kepada kita. Dan rahmat yang terbesar untuk ummat manusia adalah Nabi Muhammad SAW. Allah SWT telah berfirman yang artinya: " Dan aku tidak mengutusmu kecuali sebagi rahmat bagi semua yang ada di alam semesta".
Sebagai ummat terakhir dari Nabi serta Rasul terakhir penyempurna utusan sebelumnya, bergembira akan kelahiran dan jerih payah Muhammad memang bisa diwujudkan dengan berbagai hal. Perbedaan dalam menafsirkan beberapa hal dalam masalah furu’, seperti yang telah disabdakan Nabi, adalah sebuah hikmah.

Sholawat penting, lebih penting lagi uswah yang bersandar kepada Nabi
Shalawat memang istimewa, dalam keadaaan apapun misalnya saja riya’, takabur, dusta dan lain-lain, ibadah ini tetap memiliki nilai lebih dibandingkan dengan ibadah yang lain. Shalawat yang kita ucapkan pun dipastikan akan langsung dihadapkan kepada Rasul. Berbeda dengan dzikir dan kawan-kawannya, kekhusu’an, kerjernihan hati serta keikhlasan menjadi sebuah hal yang harus dilakukan untuk mencapai kesempurnaannya.
Shalawat memang penting. Lebih utama lagi jika uswatun hasanah yang merupakan sifat Rasul, telah kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari melebihi shalawat yang kita lantuntan dengan deraian airmata. Bukan ucapan, tapi perbuatan yang selaras dengan apa yang dianjurkan dan telah diperbuat Rasul. Sudahkah kita melakukannya?
Jika sampai saat ini hanya lantunan shalawat dan pembacaan rentetan sejarah saja yang selalu kita banggakan, apa yang tersisa dari ajaran Rasul, tidak ada. Maka, segala jerih payah yang telah beliau lakukan selama kurang lebih 23 akan hilang dengan percuma. Kecintaan adalah mengikuti apa yang diperintahkan dan dianjurkan. Bukan hanya meng-iyakan apalagi menggembar-gemborkan tanpa adanya aktualisasi dari diri kita sendiri.
Namun, bagaimanapun juga, Rasul hanyalah utusan Allah. Pengkultusan dalam bentuk apapun adalah haram hukumnya. Tidak ada perbuatan yang bisa melebihi kecintaan kita kepada Sang Pencipta yakni Allah SWT.
Maulid adalah sebuah ajang koreksi diri atas perbuatan kita selama ini, sudah sesuaikah dengan apa yang diamanahkan atau malah sebaliknya. Pepatah mengatakan, “Bangsa (ummat) yang besar adalah mereka yang menghargai sejarahnya”. Memandang penting dan merealisasikan apa-apa yang terbaik yang pernah terjadi.
Jadi, lebih dari sekedar bersholawat kepada junjungan Nabi Muhammad, mengaktualisasikan apa-apa yang pernah terucap dan pernah diperbuat Nabi di dalam kehidupan kita saat ini menjadi lebih penting. Sudahkah kita melakukannya??? Jika belum dan hanya “membanggakan” ritual shalawat semata, pantaskah kita menyebut diri sebagai uammatnya??? Waallahu a’lam bishowab…



On Terusssss

Gak ada alesan buat Off, selama ada pilihan ON, kenapa harus Off????