Kamis, 01 Agustus 2013

Makna Ramadhan, Lebih Dari Sekadar Konteks Ritual-Religius

          Ritual religius di sepuluh hari jelang berakhirnya ramadhan makin gencar dilakukan umat muslim se dunia, khususnya masayarakt muslim Indonesia. Sajadah panjang terpapar di sudut-sudut keheningan masjid, mushala, rumah, bahkan kantor. Beribu dan berjuta-juta puja serta puji dilantunkan. Tujuannya satu, mengharapkan keridhoan illahi rabbi dalam menyambut malam seribu bulan Lailatul Qadr. Ritual religius yang sudah menjadi barang biasa jelang sepuluh keberkahan di hari akhir ramadhan setiap tahunnya. Ritual ini seakan melengkapi sepuluh hari pertama dan sepuluh hari kedua.
          Dan sudah menjadi rahasia umum, di setiap sepuluh hari di bulan ramadhan, tersimpan bebera keberkahan yang bisa dipetik umat. Pertama, di sepuluh hari pertama adalah rahmah atau kasih saying. Kedua, di sepuluh hari kedua Allah memberikan maghfirah atau ampunan. Dan ketiga, sepuluh terakhir di bulan ramadhan adalah itqum minan nar. So, sudah pasti mereka yang merindukan kridhoan illahi di bulan ramadhan, akan berbondong-bondong menyingsingkan lengan bajunya untuk berwudlu dan menggelar seluas-luasnya sajadah sujud kepadaNya.

          Cerita yang sudah biasa, bukan? Yups!

          Lalu saya teringat nasehat seorang sahabat. Bahwa sejatinya setiap perintah yang sifatnya ibadah kepadaNya selalu diiringi perintah berbuat baik kepada sesama. Ambil contoh, ayat yang memerintahkan shalat selalu diikuti perintah untuk melaksanakan zakat. Dengan kata lain, hubungan wajib secara vertical juga musti diimbangi hubungan baik secara horizontal. Bukankah sudah jelas hadits nabi yang mengatakan “Tidak beriman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sendiri seperti ia mencintai dirinya sendiri”?
          Di sudut lain, berduyun-duyun sebagian dari kita melaksanakan ritual religious dengan penuh semangat (baca; egois). Segala bentuk ibadah dilaksanakan dengan penuh pengharapan akan janji-janji Allah kepadanya di bulan penuh rahmat ini.
          Lalu, di mana saudara sesama muslim yang bahkan tidak sanggup mengangkat bahunya sendiri untuk menyuapi keluarganya, melengkapi harinya dengan ketenangan hidup merdeka tanpa hutang??? Jawabannya jelas. Tertutup oleh hingar bingarnya takbir, tahlil, dan tahmid para pencari janji-janji keberkahan ramadhan.
Mari kita kembali kepada sepuluh hari pertama di bulan ramadhan. Disetiap ceramah, pidato, khutbah, selalu kita dibisiki di sepuluh hari tersebut terdapat rahmah (cinta). Bicara cinta, malu rasanya jika kita diingatkan apa itu cinta, bukan? Disini saya mengartikan cinta itu kepada sesama. Bagi saya, tertalu sempit jika kita mengartikan cinta itu hanya kepada Allah SWT. Secara vertical sebagai hambaNya, iya. Namun sebagai hambanya bukankah kita juga dituntut untuk menyayangi sesama?
          Siapakah mereka itu? Siapa saja, hamba-hamba Allah, yang taraf garis kehidupannya ada di bawahmu. Cintailah mereka dengan memberikan makanan bagi mereka yang lapar, berbagi cahaya bagi mereka yang terkurung dalam gelap; melindungi mereka yang didholimi. Wilayah medan juangmu adalah kepada siapa saja yang secara faktual hadir dalam hidupmu agar engkau sentuh dengan tangan cintamu.
Selanjutnya, rasa cinta yang mendalam akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang bahkan diluar kemampuannya. Sebagai contoh, etelah rasa cinta itu timbul, rasa memaafkan akan menjadi pendamping setianya.
          Di sini, karakter sebagai seorang pemaaf yang tangguh akan terbentuk. Segala bentuk kelaliman, kedholiman, fitnah, dan setiap kesengajaan yang menempatkanmu dalam sudut gelap. Hati dan batin yang luas akan tercipta. Cinta (rahmah) dan ampunan (maghfirah)menjadi nafas hidup, seperti tauladan Rasulullah yang menyuapi pengemis buta dan di saat yang sama ia mencaci maki Rasulullah sebagai tukang sihir yang bodoh.
          Dengan pijakan cinta dan ampunan inilah engkau tegak mengupayakan solusi bagi kesulitan hamba-hamba Allah yang menjadi tanggung jawabmu. Dalam kadar tertentu solusi yang engkau tawarkan mengandung percepatan dalam menyelesaikan masalah. Bukankah engkau mewarisi percepatan malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan? Engkau akan larut dalam kerja keras mengentaskan neraka kesulitan hidup hamba-hamba-Nya. Neraka orang yang tidak punya beras adalah lapar. Neraka orang yang terlilit hutang adalah tiadanya uang untuk membayar hutang. Neraka  orang tua adalah anak-anak yang durhaka.
          Dengan ilmu dan tenaga yang dipinjamkan Allah kepadamu, engkau bekerja keras mengangkat hidup mereka dari jurang neraka kesengsaraan, sebagaimana Allah membebaskanmu dari neraka (’itqun minannaar) di sepuluh hari yang ketiga.
          Jadi, terlalu sempit juga jika pembagian sepuluh hari selama bulan ramadhan hanya dipahami sebatas konteks ritual-religius, tetapi juga nyambung dalam konteks kehidupan sosial. Pertanyaan selanjutnya, apakah setiap ibadah harus ditemukan manfaat sosialnya?”
          Bukan hanya ditemukan, engkau bahkan harus menjadikan manfaat sosial sebagai buah dari ibadahmu. Sehingga tidak ada lagi dikotomi saleh religius dan saleh sosial. Keduanya lebur dalam satu sikap yang otomatis keluar dari perilaku seorang muslim. Seluruh rukun Islam - termasuk puasa Ramadhan - adalah semacam metodologi bagi setiap muslim untuk mengolah dirinya agar optimal dalam menjalani peran dan fungsinya sebagai khalifah. Khalifah itu wakil Allah di bumi agar melayani hamba-hamba-Nya.

*Juga dinukil dari blog Kompasiana (Pong Sahidy)

1 komentar:

  1. Apanya.. komentnya. Saya belum baca . Tapi pengen komen. Oh....tulisannya rapi, tata letak huruf perhuruf tidak ada yang terbalik. Warna carakter huruf dan kata sama, itu tanda kematangan dalam berfikir dan bersama sama membangun bangsa ini dwnga kesamaan dan kekuatan fikry yang tajam

    BalasHapus