Ritual religius di sepuluh hari jelang berakhirnya
ramadhan makin gencar dilakukan umat muslim se dunia, khususnya masayarakt
muslim Indonesia. Sajadah panjang terpapar di sudut-sudut keheningan masjid,
mushala, rumah, bahkan kantor. Beribu dan berjuta-juta puja serta puji
dilantunkan. Tujuannya satu, mengharapkan keridhoan illahi rabbi dalam
menyambut malam seribu bulan Lailatul Qadr. Ritual religius yang sudah menjadi
barang biasa jelang sepuluh keberkahan di hari akhir ramadhan setiap tahunnya. Ritual
ini seakan melengkapi sepuluh hari pertama dan sepuluh hari kedua.
Dan sudah menjadi rahasia umum, di setiap sepuluh hari di
bulan ramadhan, tersimpan bebera keberkahan yang bisa dipetik umat. Pertama, di
sepuluh hari pertama adalah rahmah atau kasih saying. Kedua, di sepuluh
hari kedua Allah memberikan maghfirah atau ampunan. Dan ketiga, sepuluh
terakhir di bulan ramadhan adalah itqum minan nar. So, sudah pasti
mereka yang merindukan kridhoan illahi di bulan ramadhan, akan
berbondong-bondong menyingsingkan lengan bajunya untuk berwudlu dan menggelar
seluas-luasnya sajadah sujud kepadaNya.
Lalu saya teringat nasehat seorang sahabat. Bahwa sejatinya
setiap perintah yang sifatnya ibadah kepadaNya selalu diiringi perintah berbuat
baik kepada sesama. Ambil contoh, ayat yang memerintahkan shalat selalu diikuti
perintah untuk melaksanakan zakat. Dengan kata lain, hubungan wajib secara vertical
juga musti diimbangi hubungan baik secara horizontal. Bukankah sudah jelas hadits
nabi yang mengatakan “Tidak beriman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya
sendiri seperti ia mencintai dirinya sendiri”?
Di sudut lain, berduyun-duyun sebagian dari kita
melaksanakan ritual religious dengan penuh semangat (baca; egois). Segala bentuk
ibadah dilaksanakan dengan penuh pengharapan akan janji-janji Allah kepadanya
di bulan penuh rahmat ini.
Lalu, di mana saudara sesama muslim yang bahkan tidak sanggup
mengangkat bahunya sendiri untuk menyuapi keluarganya, melengkapi harinya
dengan ketenangan hidup merdeka tanpa hutang??? Jawabannya jelas. Tertutup oleh
hingar bingarnya takbir, tahlil, dan tahmid para pencari janji-janji keberkahan
ramadhan.
Mari kita kembali kepada
sepuluh hari pertama di bulan ramadhan. Disetiap ceramah, pidato, khutbah,
selalu kita dibisiki di sepuluh hari tersebut terdapat rahmah (cinta). Bicara
cinta, malu rasanya jika kita diingatkan apa itu cinta, bukan? Disini saya
mengartikan cinta itu kepada sesama. Bagi saya, tertalu sempit jika kita
mengartikan cinta itu hanya kepada Allah SWT. Secara vertical sebagai hambaNya,
iya. Namun sebagai hambanya bukankah kita juga dituntut untuk menyayangi sesama?
Siapakah mereka
itu? Siapa saja, hamba-hamba Allah, yang taraf garis kehidupannya ada di
bawahmu. Cintailah mereka dengan memberikan makanan bagi mereka yang lapar,
berbagi cahaya bagi mereka yang terkurung dalam gelap; melindungi mereka yang
didholimi. Wilayah medan juangmu adalah kepada siapa saja yang secara faktual
hadir dalam hidupmu agar engkau sentuh dengan tangan cintamu.
Selanjutnya, rasa
cinta yang mendalam akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang
bahkan diluar kemampuannya. Sebagai contoh, etelah rasa cinta itu timbul, rasa
memaafkan akan menjadi pendamping setianya.
Di sini, karakter
sebagai seorang pemaaf yang tangguh akan terbentuk. Segala bentuk kelaliman,
kedholiman, fitnah, dan setiap kesengajaan yang menempatkanmu dalam sudut
gelap. Hati dan batin yang luas akan tercipta. Cinta (rahmah) dan ampunan (maghfirah)menjadi nafas hidup, seperti tauladan Rasulullah
yang menyuapi pengemis buta dan di saat yang sama ia mencaci maki Rasulullah
sebagai tukang sihir yang bodoh.
Dengan pijakan
cinta dan ampunan inilah engkau tegak mengupayakan solusi bagi kesulitan
hamba-hamba Allah yang menjadi tanggung jawabmu. Dalam kadar tertentu solusi
yang engkau tawarkan mengandung percepatan dalam menyelesaikan masalah.
Bukankah engkau mewarisi percepatan malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir bulan
ramadhan? Engkau akan larut dalam kerja keras mengentaskan neraka kesulitan
hidup hamba-hamba-Nya. Neraka orang yang tidak punya beras adalah lapar. Neraka
orang yang terlilit hutang adalah tiadanya uang untuk membayar hutang.
Neraka orang tua adalah anak-anak yang durhaka.
Dengan ilmu dan tenaga yang dipinjamkan Allah kepadamu,
engkau bekerja keras mengangkat hidup mereka dari jurang neraka kesengsaraan,
sebagaimana Allah membebaskanmu dari neraka (’itqun minannaar) di sepuluh hari yang ketiga.
Jadi, terlalu
sempit juga jika pembagian sepuluh hari selama bulan ramadhan hanya dipahami
sebatas konteks ritual-religius, tetapi juga nyambung dalam konteks kehidupan sosial. Pertanyaan
selanjutnya, apakah setiap ibadah harus ditemukan manfaat sosialnya?”
Bukan hanya ditemukan, engkau bahkan harus menjadikan
manfaat sosial sebagai buah dari ibadahmu. Sehingga tidak ada lagi dikotomi saleh
religius dan saleh sosial. Keduanya lebur dalam satu sikap yang otomatis keluar
dari perilaku seorang muslim. Seluruh rukun Islam - termasuk puasa Ramadhan -
adalah semacam metodologi bagi setiap muslim untuk mengolah dirinya agar
optimal dalam menjalani peran dan fungsinya sebagai khalifah. Khalifah itu
wakil Allah di bumi agar melayani hamba-hamba-Nya.
*Juga dinukil dari
blog Kompasiana (Pong Sahidy)
Apanya.. komentnya. Saya belum baca . Tapi pengen komen. Oh....tulisannya rapi, tata letak huruf perhuruf tidak ada yang terbalik. Warna carakter huruf dan kata sama, itu tanda kematangan dalam berfikir dan bersama sama membangun bangsa ini dwnga kesamaan dan kekuatan fikry yang tajam
BalasHapus