Senin, 09 Mei 2011

Debat kusir ala alaihim gambreng

 
Dalam suatu waktu, terjadi perdebatan sengit antara gue with my temen. Sebenernya c gak seru-seru amad, cuman berselisih paham akan sudut pandang dari sebuah bungkus rokok keluaran Sampoer** Mi**. Gue yang ngeliet dari sebelah depan bersikukuh kalo tulisan yang ada di depan itu “A” doangan. Sedangkan my temen berbeda, die bilang hanya tulisan kecil-kecil yang ada.

Hhhhmmmmm……jadilah diskusi ringan ini menjadi perdebatan yang menarik dan panjang. Semakin panjang coz bae gue ataupun die tetep kekeh gak mao ngeliet sisi-sisi laennya. Secara, gue udah yakin kalo tulisannya ya itu tadi. Begitu juga ma die, ngotot dengan keyakinannya.

Memang, gak seperti anggota parlemen yang kadang sikut-sikutan atopun saling tarik-tarikan jasnya. Tapi, lo semua boleh percaya kalo urat diseluruh kepala gue ma die hampir rasanya mencotot keluar. Wakakakakakaka (dramatisir banget ye…).

Sudut pandang yang berbeda. Yup!!

Padahal, yang harusnya gue ma die renungkan atau diskusikan khan esensinya. Kalo ngeributin luarnya doangan mah….mana ada ujungnya. Yang ada malahan bisa gontok-gontokan plus ngadu pedang.
But, kalo ngomongin masalah keyakinan yang masing-mnasing gue milikin. 

Memang harusnya dikomunikasikan secara komunikatif dulu. Pangkal dari permasalahan -menurut gue ye- adanya di komunikasi. Kalo seandainya gue bisa meyakinkan keyakinan yang gue punya ke die dengan jalan yang komunikatif, masa die bakalan jadi misscomunication ma gue???? Bebel kalo kagak mah….

Kenyataannya, yaaaa..........

Selasa, 03 Mei 2011

sesahabat apakah kita?


"Sahabat terbaik" itu seperti sepasang sepatu,, walau bentuknya tak pernah sama namun serasi..saat berjalan tak pernah berdampingan, tapi tujuannya sama...walau tak pernah bisa ganti posisi, namun saling melengkapi ..selalu sederajat, tak ada yg lebih rendah/tinggi..dan bila yg 1 hilang,yg lain tak memiliki arti..semoga hari ini dan selamanya kita tetap menjaga persahabatan kita slamanya.
Konsepnya tetap sama dari jaman kuda gigit besi hingga kini kuda gigit terasi. Ups….gigit roti maksudnya. Bahwa, semakin kerasnya kita berusaha mengenal seseorang, semakin jauh dari mengerti. Rasa pensaran yang alamiah dimiliki oleh manusia memang ‘memaksa’ mereka untuk terus menjelajahi keingintahuannya.
Dalam prosesnya, seringkali manusia memberi kesimpulan dini akan sedikit informasi yang telah didapatkan. Atas dasar itulah, tidak jarang pula kita menggaungkan kepada semua orang bahwa kita mengenal si A dengan baik, namun kenyataannya  kita merasa tertipu atas penafsiran kita sendiri.
Kita memang berbeda, satu hal yang harus kita yakini. Hmmm…….Ambil contoh simpelnya, bagian tubuh kita sendiri tidaklah sama. Ukuran sebelah kanan, lebih besar dari sebelah kiri. Atau jika kidal, ukuran kirilah yang lebih besar. Jika semuanya sama, dimana letak keharmonisan alam yang tersusun dari warna-warni isi didalamnya. Atau lebih jauh lagi, Tuhan sungguh sangat tidak kreatif dalam mencipta.
Bagi muslim, perbedaan diantara mereka adalah sebuah hikmah. Dimana dengan adanya perbedaan tersebut, mereka akan saling mengisi satu dengan yang lain. Karena kita berbeda, tentu saja kita tidaklah sempurna. Dengan perbedaan tersebutnya kita akan berusaha menciptakan sebuah konsep yang baik, bukan sempurna.
Wajar saja jika pada akhirnya, seorang sahabat bersitegang dengan sahabat yang sudah dikenalnya sejak lama. Mungkin saja hal tersebut karena kesimpulan yang dini. Atau bahasa kasarnya, “sok tahu” “sok kenal” dsb.
Pada dasarnya, kita memang memiliki sebuah rahasia yang bahkan kepada orangtua pun kita sembunyikan. Banyak hal yang menjadi pertimbangannya (kita sendiri yang tahu ya….). mungkin saja dengan menjaga rahasia tersebut, secara tidak langsung kita ingin melanggenggkan arti sebuah persahabatan. Mungkin saja.
Yang jelas, dengan menghargai akan privasi serta misteri yang dimiliki seorang sahabat. Sejatinya, kita telah memerankan bagian terpenting dari sebuah persahabatan itu. (bener gak ya…?)

Senin, 02 Mei 2011

Mana yang lebih Utama????


“Gue ngelawan orangtua juga karena gak dibolehin buat ta’lim n ziarah. Kalo lo mah bisa gak, prinsip kita beda”
Itulah jawaban dari seorang gadis ketika sahabatku bertanya kepadanya, kenapa akhir-akhir ini ia seringkali melawan kedua orangtuanya. Bahkan, dengan “terpaksa” berbohong untuk hal yang sebenarnya baik, ta’lim dan ziarah.
Percakapan ini berawal saat kedua orangtua LA (gadis berusia 17 tahunan ini) memanggil AM (sahabatku yang notabene mentor agama LA kerumah mereka. AM kemudian ditanya perihal perubahan perilaku LA yang cenderung melawan imbauan orangtua.
Kemudian kedua orangtua LA menceritakan kepada AM ihwal perubahan LA. “Pernah suatu ketika, kami mencari LA seharian karena tidak ada dirumah. Kami coba menelponnya, ‘LA sekarang di mana’, tanya kami. Lalu ia menjawab, ‘ di empang’. Ngapain? ‘Berak…!!! Ya, ziarah lah….’jawabnya. MasyaAllah….kami kaget dengan jawabannya,” begitu ungkap kedua orangtua LA kepada AM.
Kedua orangtua LA kemudian berharap kepada AM untuk memberikan nasehat LA. AM dirasa pantas memberikan mauidhoh karena selama ini LA belajar agama kepada AM dikampungnya. AM pun menyanggupinya hingga terjadi percakapan via sms antara AM dan LA.
Awalnya, komunikasi berjalan biasa saja. Namun, ketika AM mulai menyinggung perubahan perilaku yang ditunjukkan LA kepada kedua orangtuanya, tiba-tiba LA berang. Sebutan ‘abang’ atu ‘ente’ diawal percakapan, berubah menjadi ‘lo’ dan ‘gue’. Sebenarnya AM tidak mempermasalahkannya, toh itu hanya sebuah sebutan penghormatan yang biasa. AM pun tidak ingin dihormati lebih.
 Namun, yang membuat AM gelisah, setiap kali ia menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan LA selama ini salah, LA beranggapan lain. Berulangkali pula AM memberikan penjelasan bahwa memang ta’lim dan ziarah itu baik. Apalagi jika diniatkan untuk beribadah. Namun, niat baik tersebut seyogyanya mendapatkan restu dari orangtua.
AM pun mengambil sebuah dalil bahwa ridho Alloh berada diridhonya orang tua, sebaliknya kemarahan orangtua adalah kemarahan Alloh. Bukannya menelaah dalil yang jelas-jelas termaktub dalam al-qur’an, LA malah mengelak. “Kalau kita cinta kepada nabi dan wali Allah itu jangan setengah-setengah. Harus sampai mati. Jangan mau di hasud oleh setan !!!” begitu jawaban LA ketika AM bertanya kenapa tetap ngotot untuk berbuat hal demikian.
Kemudian, AM menelaah perkataan LA, apakah kecintaan kita kepada Nabi dan Wali Alloh harus mengorbankan kecintaan kita kepada orangtua? Bukankah nabi juga mengatakan bahwa syurga berada dibawah telapak kaki ibu? Bukankah berkata ‘uh’ saja kepada mereka adalah sebuah dosa?
Kecintaan kita kepada nabi, ujar AM kepada LA, bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Tidak melulu dengan melakukan ziarah ataupun ta’lim. Kecintaan itu bisa pula kita wujudkan melalui bakti kepada orangtua.
AM hanya mengkhawatirkan, jika pengajian yang diikuti LA belum betul-betul dicerna dengan baik oleh LA. Mengingat LA merupakan ‘orang baru’. Pengetahuan agama yang masih setengah-setengah dinilai AM bisa menyesatkan pemahaman akan mauidhoh yang disampaikan. “LA harus telaah dulu, jangan ditelan bulat-bulat. Jika ada hal yang kurang paham, jangan malu bertanya,” Ujar AM kepada LA.
Sejurus kemudian, tiba-tiba saja LA membalas sms AM dengan nada yang bisa dibilang menghinanya. “Iya dech….yang udah kenal hab** lama. Secara, ustadz juga. Diluarnya sich gitu…gak tau di dalemnya…gadungan!!.”
MasyaAlloh……  AM hanya bisa mengelus dadanya. Ketakutan yang dibayangkannya benar-benar terjadi.
Semua pengajian pada dasarnya baik. Tentu saja karena mengajarkan kebaikan. Namun, pemahaman yang kurang matang dari sang pendengar bisa menyebabkan sebaliknya. Tidak sedikit pula yang malah menafsirkan lain dari yang diajarkan ataupun dari hal-hal yang disampaikan.
Jika dari ta’lim tersebut, su’ul adab hasilnya. Menghalalkan segala cara untuk berbuat baik namun dengan cara yang salah, membantah orangtua.  Marilah kita yang menilai, apakah sang anak layak mendapat syurganya Allah? Wallahu a’lam.