Senin, 02 Mei 2011

Mana yang lebih Utama????


“Gue ngelawan orangtua juga karena gak dibolehin buat ta’lim n ziarah. Kalo lo mah bisa gak, prinsip kita beda”
Itulah jawaban dari seorang gadis ketika sahabatku bertanya kepadanya, kenapa akhir-akhir ini ia seringkali melawan kedua orangtuanya. Bahkan, dengan “terpaksa” berbohong untuk hal yang sebenarnya baik, ta’lim dan ziarah.
Percakapan ini berawal saat kedua orangtua LA (gadis berusia 17 tahunan ini) memanggil AM (sahabatku yang notabene mentor agama LA kerumah mereka. AM kemudian ditanya perihal perubahan perilaku LA yang cenderung melawan imbauan orangtua.
Kemudian kedua orangtua LA menceritakan kepada AM ihwal perubahan LA. “Pernah suatu ketika, kami mencari LA seharian karena tidak ada dirumah. Kami coba menelponnya, ‘LA sekarang di mana’, tanya kami. Lalu ia menjawab, ‘ di empang’. Ngapain? ‘Berak…!!! Ya, ziarah lah….’jawabnya. MasyaAllah….kami kaget dengan jawabannya,” begitu ungkap kedua orangtua LA kepada AM.
Kedua orangtua LA kemudian berharap kepada AM untuk memberikan nasehat LA. AM dirasa pantas memberikan mauidhoh karena selama ini LA belajar agama kepada AM dikampungnya. AM pun menyanggupinya hingga terjadi percakapan via sms antara AM dan LA.
Awalnya, komunikasi berjalan biasa saja. Namun, ketika AM mulai menyinggung perubahan perilaku yang ditunjukkan LA kepada kedua orangtuanya, tiba-tiba LA berang. Sebutan ‘abang’ atu ‘ente’ diawal percakapan, berubah menjadi ‘lo’ dan ‘gue’. Sebenarnya AM tidak mempermasalahkannya, toh itu hanya sebuah sebutan penghormatan yang biasa. AM pun tidak ingin dihormati lebih.
 Namun, yang membuat AM gelisah, setiap kali ia menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan LA selama ini salah, LA beranggapan lain. Berulangkali pula AM memberikan penjelasan bahwa memang ta’lim dan ziarah itu baik. Apalagi jika diniatkan untuk beribadah. Namun, niat baik tersebut seyogyanya mendapatkan restu dari orangtua.
AM pun mengambil sebuah dalil bahwa ridho Alloh berada diridhonya orang tua, sebaliknya kemarahan orangtua adalah kemarahan Alloh. Bukannya menelaah dalil yang jelas-jelas termaktub dalam al-qur’an, LA malah mengelak. “Kalau kita cinta kepada nabi dan wali Allah itu jangan setengah-setengah. Harus sampai mati. Jangan mau di hasud oleh setan !!!” begitu jawaban LA ketika AM bertanya kenapa tetap ngotot untuk berbuat hal demikian.
Kemudian, AM menelaah perkataan LA, apakah kecintaan kita kepada Nabi dan Wali Alloh harus mengorbankan kecintaan kita kepada orangtua? Bukankah nabi juga mengatakan bahwa syurga berada dibawah telapak kaki ibu? Bukankah berkata ‘uh’ saja kepada mereka adalah sebuah dosa?
Kecintaan kita kepada nabi, ujar AM kepada LA, bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Tidak melulu dengan melakukan ziarah ataupun ta’lim. Kecintaan itu bisa pula kita wujudkan melalui bakti kepada orangtua.
AM hanya mengkhawatirkan, jika pengajian yang diikuti LA belum betul-betul dicerna dengan baik oleh LA. Mengingat LA merupakan ‘orang baru’. Pengetahuan agama yang masih setengah-setengah dinilai AM bisa menyesatkan pemahaman akan mauidhoh yang disampaikan. “LA harus telaah dulu, jangan ditelan bulat-bulat. Jika ada hal yang kurang paham, jangan malu bertanya,” Ujar AM kepada LA.
Sejurus kemudian, tiba-tiba saja LA membalas sms AM dengan nada yang bisa dibilang menghinanya. “Iya dech….yang udah kenal hab** lama. Secara, ustadz juga. Diluarnya sich gitu…gak tau di dalemnya…gadungan!!.”
MasyaAlloh……  AM hanya bisa mengelus dadanya. Ketakutan yang dibayangkannya benar-benar terjadi.
Semua pengajian pada dasarnya baik. Tentu saja karena mengajarkan kebaikan. Namun, pemahaman yang kurang matang dari sang pendengar bisa menyebabkan sebaliknya. Tidak sedikit pula yang malah menafsirkan lain dari yang diajarkan ataupun dari hal-hal yang disampaikan.
Jika dari ta’lim tersebut, su’ul adab hasilnya. Menghalalkan segala cara untuk berbuat baik namun dengan cara yang salah, membantah orangtua.  Marilah kita yang menilai, apakah sang anak layak mendapat syurganya Allah? Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar