Rabu, 07 Desember 2011

Engkaulah tulang rusuk yang hilang di tubuh ini


“99 kebaikan akan terhapus oleh satu buah keburukan, 99 keburukan belum tentu hilang oleh satu kebaikan.”
Sulit rasanya memosisikan diri saat sebuah persepsi sudah terbentuk. Bagaimanapun caranya berkilah, stigma negative terlanjur ter-cap di kening. Saat semua itu terjadi, cara terbai yang bisa dilakukan adalah berdo’a dan membuktikan jika persepsi itu bisa dirubah.
Hanya saja pertanyaannya, bagaimana caranya?
Hingga saat ini, pertanyaan itu belum juga mampu terjawab. Ketika sebuah masalah yang “mirip-mirip” terjadi, sialnya persepsi itu kembali muncul entah tanpa disadari atau sudah terkonsep sebelumnya.
Kata putus asa memang sempat terlintas. Namun alangkah piciknya, keputusasaan yang besarnya tak lebih dari sebiji semangka itu bisa membenamkan kesabaran dan kesungguhan yang besarnya melebihi ruang hati.
Memang, lagi-lagi kalimat “mana janji awalnya?” memupus harapan untuk kembali berdiri tegak untuk kemudian berjalan lagi. Atau mungkin saja apa yang telah dilakukan selama ini dengan sedikit “pembiaran” tidaklah cukup?
Manusia memang unik dengan banyak cinta didalamnya.
“Love is hurt at the end”
Pada akhirnya, entah karena pilihan sendiri atau kehendak Tuhan memisahkan di dunia, cinta pada akhirnya akan selalu menyakitkan. Kepada siapa kita rela berkorbanlah yang menjadi pembedanya. Dan aku, sejak memutuskan untuk memilihmu telah siap untuk berkorban. Hanya kuasa Tuhan yang mampu menenggelamkan keputusan ini.
Kekuatanku satu, keyakinan bahwa engkaulah tulang rusuk yang hilang di tubuh ini.

Senin, 05 Desember 2011

Malam panjang.........


Malam ini, bukan karena tiada kehidupan yang tersisa di tepian malam. Mungkin kehangatan malam bisa saja kuciptakan tanpa memperdulikan derasnya angin yang menusuk-nusuk tulangku. Aku bahkan mampu mencipkan sedikit, yah sedikit cahaya diantara kepungan sang kegelapan.


Namun, suasana kalbu ini tak rela melihat ketabahan ragaku yang semakin mencapai titik nadirnya. Aku pun semakin jauh dari ruh diriku sendiri. Anganku tertuju akan resah dan janjiku pada dia yang tertanam dalam khayalku meski aku harus berusaha dengan keringat darah yang tak kunjung habisnya untuk meyakinkan bahwa malam ini adalah malam dan aku menjalaninya sendiri menuju mentari nanti.


Malam ini aku terkantuk akan terlalu banyak janji yang telah ku berikan kepada dia, hingga aku sendiri lupa untuk mengingatnya, apakah benar aku memang telah berjanji? Harus aku akui, meski tak wajib dia pahami, aku telah banyak mengeluarkan darah di goresan hati ini untuk tetap bisa mendekat kepadanya. Sedikitnya aku merasa sudah terlalu dekat hingga sangat mabuk akan darah yang ku alirkan dari jasadku sendiri.


Mungkin dia belum merasa itu cukup, tapi aku merasabegitu telah lemas, hanya sedikit darah yang tertinggal untuk melewati malam ini dengan tenang. Sudah ku bilang aku akan “seperti biasanya”, sebelum malam-malam yang pernah terlewati antara aku dan dia, buktinya, malam ini bisa kutemui kembali walau tanpa adanya bayangan yang biasa tampak. Aku sudah “seperti biasanya”.  Setidaknya memang “Seperti biasa”-nya aku biasa.


Dia hidup dengan bayangnya, dan aku akan terus mencari bayangku lagi. Mudah,khan? Berhentilah merasa malam ini gelap…!!! Karena malam ini memang gelap…!!!


Toh, akhirnya, aku jalani atau tidak atau kau mau atau tidak esok akan tetap melewati kita. Aku hanya ingin sedikit saja dia tahu, janji “seperti biasa” yang pernah ku ucapkan kepadanya masih tetap kuperjuangkan dengan tetes-tetes darah yang tersisa, hanya saja….”seperti biasa” itu, perlu kau ketahui, akan menguburku…dalam. Jika kau merasa tenang dengan dalamnya bumi menghisapku, aku akan tersenyum saat bumi menyerap sedikit demi sedikit kesadaranku akan sadarku sendiri.


“Seperti biasa” janjiku….

Aku akan selalu “seperti biasa”…seperti yang “seperti biasa”-nya aku menatap mu.



Selasa, 08 November 2011

proses..proses...proses....

Pagi ini, dengan rasa malu yang sangat aku memohon, "Ya Allah, bolehkan aku meminta sedikit, yup sedikit saja, RASA SYUKUR melebihi nikmat yang tak henti-hentinya Kau beri kepadaku?".


Dengan lika-liku jalan kehidupan yang terus menerus berjalan tanpa henti, sedikit kelebihan dan banyaknya kekurangan seharusnya tidak membuat langkah terhenti. kehidupan akan tetap berjalan, dengan atau tanpa derap langkah kaki kita.


Perumpamaan dunia layaknya roda yang berputar tentu benar adanya. Tuhan memberikan titik terendah agar kita belajar bagaimana cara mencapai puncak. sebaliknya, Ia memberikan anugrah pencapaian tertinggi agar kita belajar mengendalikan apa yang telah diberikan kepada kita. Kedua hal itu selayaknya menjadi sebuah cara untuk bersyukur, bagaimana cara kita menyikapinya.


Bukankah Ia telah berjanji, bagi mereka yang bersyukur akan nikmatNya Ia akan menambahkan lebih banyak nikmat lagi dari jalan yang tidak pernah kita duga. Namun, celakalah bagi mereka yang mengkufuri nikmatnya.


Dunia adalah sebuah proses. Proses atas proses yang terus berproses.Belajar adalah salahsatu dari banyak proses yang dijalani.


Sadarkah kita jika tiada janji untuk mengakhiri pembelajaran bahkan hingga pencapaian kita di liang lahat? Yup, sebab belajar adalah sebuah proses. Dan dalam sebuah proses, tidak ada kata akhir........


Bila ada yang menjanjikan pencapaian terbaik dari akhir sebuah proses pembelajaran, ia adalah seorang pembohong besar yang menikmati saripati dari proses pembelajaran kita.

Minggu, 02 Oktober 2011

Berhenti Menjadi Lilin Kecil

“Pasang sabuk keselamatan saat pesawat akan tinggal landas. Dalam keadaan darurat dan atau pesawat kehilangan tekanan di udara, tabung oksigen akan keluar. Selamatkan diri Anda terlebih dahulu sebelum menyelamatkan orang disamping Anda,” ujar seorang Pramugari kepada penumpang sebelum pesawat tinggal landas.


Informasi pertama, agaknya mirip-mirip himbauan pak Polisi kepada pengemudi dan penumpang kendaraan roda empat. Jadi, gak asing lagi ditelinga gue. Tapi, informasi yang kedua bikin gue agak gimanaaa gitu. Gimana enggak, masa gue biarin aja orang disamping gue mokat? Apalagi kalo ntu keluarga gue. “Gak masuk akan nih himbauan!!!”.
Setelah penerbangan itu, yang berlangsung aman dan terkendali, gue gonta-ganti maskapai penerbangan, berharap denger himbauan yang berbeda dengan maskapai sebelumnya. Akan tetapi, harapan tinggalah harapan. Semua maskapai penerbangan himbauannya, ya begitu.
Beberapa hari berikutnya, gue terus berpikir (bukannya agak lemod, kurang teges aja kali yah…. Hehehehehe) cari kesimpulan atas himbauan yang gue pikir irasional.
Namun gue agak tercengang saat menemukan kesimpulan akhir. Layaknya analogi “lilin”, cahayanya hanya mampu menerengi sekeliling dalam sekejap. Saat energinya habis, gelap gulita akan menyelimuti hingga masa tak berbatas.
Yup, bila dihubungkan anomaly lilin dan tabung oksigen di pesawat, tentu saja kedua hal tersebut memiliki kesamaan makna. Bagaimana kita bisa menyelamatkan orang-orang disekitar kita bila kita sendiri MATI?
Mungkin saja terlintas dibenak kita bahwa dengan kuasa dan apa yang kita miliki saat ini kita mampu memberikan sesuatu yang terbaik bagi orag-orang disekeliling kita. Buat mereka selamat, bahagia, sejahtera. Tapi, bila konsepnya adalah “lilin”, sampai kapan kita bisa bertahan??? Sanggupkah kita melihat orang-orang disekitar kita, yang kita tolong dengan pengorbanan diri, malah hancur lebur sebab energy kita yang telah hancur???!!!!
Hhhmmmm…… dilematis memang, atau agak mirip-mirip “egois”, menyelamatkan diri sendiri dulu sebelum menyelamatkan oranglain memang terkesan begitu adanya. Tapi lihat jangka panjangnya. Bila kita “HIDUP”, kesempatan untuk menyelamatkan oranglain akan jauh lebih besar bila dibandingkan kita mati, bukan?
So, pesan yang gue tangkap dihimbauan yang sempat gue anggap irasional itu; “Sedikit egois perlu, empati kepada oranlain akan jauh lebih besar”. Pengorbanan layaknya lilin akan sangat-sangat sia-sia bila hanya berdampak jangka pendek dan memutus kesempatan untuk berbuat lebih banyak di masa depan.
Masih mau menjadi lilin?????? Siap-siap meradang melihat mereka yang Anda sayangi tersungkur!!!!


Senin, 09 Mei 2011

Debat kusir ala alaihim gambreng

 
Dalam suatu waktu, terjadi perdebatan sengit antara gue with my temen. Sebenernya c gak seru-seru amad, cuman berselisih paham akan sudut pandang dari sebuah bungkus rokok keluaran Sampoer** Mi**. Gue yang ngeliet dari sebelah depan bersikukuh kalo tulisan yang ada di depan itu “A” doangan. Sedangkan my temen berbeda, die bilang hanya tulisan kecil-kecil yang ada.

Hhhhmmmmm……jadilah diskusi ringan ini menjadi perdebatan yang menarik dan panjang. Semakin panjang coz bae gue ataupun die tetep kekeh gak mao ngeliet sisi-sisi laennya. Secara, gue udah yakin kalo tulisannya ya itu tadi. Begitu juga ma die, ngotot dengan keyakinannya.

Memang, gak seperti anggota parlemen yang kadang sikut-sikutan atopun saling tarik-tarikan jasnya. Tapi, lo semua boleh percaya kalo urat diseluruh kepala gue ma die hampir rasanya mencotot keluar. Wakakakakakaka (dramatisir banget ye…).

Sudut pandang yang berbeda. Yup!!

Padahal, yang harusnya gue ma die renungkan atau diskusikan khan esensinya. Kalo ngeributin luarnya doangan mah….mana ada ujungnya. Yang ada malahan bisa gontok-gontokan plus ngadu pedang.
But, kalo ngomongin masalah keyakinan yang masing-mnasing gue milikin. 

Memang harusnya dikomunikasikan secara komunikatif dulu. Pangkal dari permasalahan -menurut gue ye- adanya di komunikasi. Kalo seandainya gue bisa meyakinkan keyakinan yang gue punya ke die dengan jalan yang komunikatif, masa die bakalan jadi misscomunication ma gue???? Bebel kalo kagak mah….

Kenyataannya, yaaaa..........

Selasa, 03 Mei 2011

sesahabat apakah kita?


"Sahabat terbaik" itu seperti sepasang sepatu,, walau bentuknya tak pernah sama namun serasi..saat berjalan tak pernah berdampingan, tapi tujuannya sama...walau tak pernah bisa ganti posisi, namun saling melengkapi ..selalu sederajat, tak ada yg lebih rendah/tinggi..dan bila yg 1 hilang,yg lain tak memiliki arti..semoga hari ini dan selamanya kita tetap menjaga persahabatan kita slamanya.
Konsepnya tetap sama dari jaman kuda gigit besi hingga kini kuda gigit terasi. Ups….gigit roti maksudnya. Bahwa, semakin kerasnya kita berusaha mengenal seseorang, semakin jauh dari mengerti. Rasa pensaran yang alamiah dimiliki oleh manusia memang ‘memaksa’ mereka untuk terus menjelajahi keingintahuannya.
Dalam prosesnya, seringkali manusia memberi kesimpulan dini akan sedikit informasi yang telah didapatkan. Atas dasar itulah, tidak jarang pula kita menggaungkan kepada semua orang bahwa kita mengenal si A dengan baik, namun kenyataannya  kita merasa tertipu atas penafsiran kita sendiri.
Kita memang berbeda, satu hal yang harus kita yakini. Hmmm…….Ambil contoh simpelnya, bagian tubuh kita sendiri tidaklah sama. Ukuran sebelah kanan, lebih besar dari sebelah kiri. Atau jika kidal, ukuran kirilah yang lebih besar. Jika semuanya sama, dimana letak keharmonisan alam yang tersusun dari warna-warni isi didalamnya. Atau lebih jauh lagi, Tuhan sungguh sangat tidak kreatif dalam mencipta.
Bagi muslim, perbedaan diantara mereka adalah sebuah hikmah. Dimana dengan adanya perbedaan tersebut, mereka akan saling mengisi satu dengan yang lain. Karena kita berbeda, tentu saja kita tidaklah sempurna. Dengan perbedaan tersebutnya kita akan berusaha menciptakan sebuah konsep yang baik, bukan sempurna.
Wajar saja jika pada akhirnya, seorang sahabat bersitegang dengan sahabat yang sudah dikenalnya sejak lama. Mungkin saja hal tersebut karena kesimpulan yang dini. Atau bahasa kasarnya, “sok tahu” “sok kenal” dsb.
Pada dasarnya, kita memang memiliki sebuah rahasia yang bahkan kepada orangtua pun kita sembunyikan. Banyak hal yang menjadi pertimbangannya (kita sendiri yang tahu ya….). mungkin saja dengan menjaga rahasia tersebut, secara tidak langsung kita ingin melanggenggkan arti sebuah persahabatan. Mungkin saja.
Yang jelas, dengan menghargai akan privasi serta misteri yang dimiliki seorang sahabat. Sejatinya, kita telah memerankan bagian terpenting dari sebuah persahabatan itu. (bener gak ya…?)

Senin, 02 Mei 2011

Mana yang lebih Utama????


“Gue ngelawan orangtua juga karena gak dibolehin buat ta’lim n ziarah. Kalo lo mah bisa gak, prinsip kita beda”
Itulah jawaban dari seorang gadis ketika sahabatku bertanya kepadanya, kenapa akhir-akhir ini ia seringkali melawan kedua orangtuanya. Bahkan, dengan “terpaksa” berbohong untuk hal yang sebenarnya baik, ta’lim dan ziarah.
Percakapan ini berawal saat kedua orangtua LA (gadis berusia 17 tahunan ini) memanggil AM (sahabatku yang notabene mentor agama LA kerumah mereka. AM kemudian ditanya perihal perubahan perilaku LA yang cenderung melawan imbauan orangtua.
Kemudian kedua orangtua LA menceritakan kepada AM ihwal perubahan LA. “Pernah suatu ketika, kami mencari LA seharian karena tidak ada dirumah. Kami coba menelponnya, ‘LA sekarang di mana’, tanya kami. Lalu ia menjawab, ‘ di empang’. Ngapain? ‘Berak…!!! Ya, ziarah lah….’jawabnya. MasyaAllah….kami kaget dengan jawabannya,” begitu ungkap kedua orangtua LA kepada AM.
Kedua orangtua LA kemudian berharap kepada AM untuk memberikan nasehat LA. AM dirasa pantas memberikan mauidhoh karena selama ini LA belajar agama kepada AM dikampungnya. AM pun menyanggupinya hingga terjadi percakapan via sms antara AM dan LA.
Awalnya, komunikasi berjalan biasa saja. Namun, ketika AM mulai menyinggung perubahan perilaku yang ditunjukkan LA kepada kedua orangtuanya, tiba-tiba LA berang. Sebutan ‘abang’ atu ‘ente’ diawal percakapan, berubah menjadi ‘lo’ dan ‘gue’. Sebenarnya AM tidak mempermasalahkannya, toh itu hanya sebuah sebutan penghormatan yang biasa. AM pun tidak ingin dihormati lebih.
 Namun, yang membuat AM gelisah, setiap kali ia menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan LA selama ini salah, LA beranggapan lain. Berulangkali pula AM memberikan penjelasan bahwa memang ta’lim dan ziarah itu baik. Apalagi jika diniatkan untuk beribadah. Namun, niat baik tersebut seyogyanya mendapatkan restu dari orangtua.
AM pun mengambil sebuah dalil bahwa ridho Alloh berada diridhonya orang tua, sebaliknya kemarahan orangtua adalah kemarahan Alloh. Bukannya menelaah dalil yang jelas-jelas termaktub dalam al-qur’an, LA malah mengelak. “Kalau kita cinta kepada nabi dan wali Allah itu jangan setengah-setengah. Harus sampai mati. Jangan mau di hasud oleh setan !!!” begitu jawaban LA ketika AM bertanya kenapa tetap ngotot untuk berbuat hal demikian.
Kemudian, AM menelaah perkataan LA, apakah kecintaan kita kepada Nabi dan Wali Alloh harus mengorbankan kecintaan kita kepada orangtua? Bukankah nabi juga mengatakan bahwa syurga berada dibawah telapak kaki ibu? Bukankah berkata ‘uh’ saja kepada mereka adalah sebuah dosa?
Kecintaan kita kepada nabi, ujar AM kepada LA, bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Tidak melulu dengan melakukan ziarah ataupun ta’lim. Kecintaan itu bisa pula kita wujudkan melalui bakti kepada orangtua.
AM hanya mengkhawatirkan, jika pengajian yang diikuti LA belum betul-betul dicerna dengan baik oleh LA. Mengingat LA merupakan ‘orang baru’. Pengetahuan agama yang masih setengah-setengah dinilai AM bisa menyesatkan pemahaman akan mauidhoh yang disampaikan. “LA harus telaah dulu, jangan ditelan bulat-bulat. Jika ada hal yang kurang paham, jangan malu bertanya,” Ujar AM kepada LA.
Sejurus kemudian, tiba-tiba saja LA membalas sms AM dengan nada yang bisa dibilang menghinanya. “Iya dech….yang udah kenal hab** lama. Secara, ustadz juga. Diluarnya sich gitu…gak tau di dalemnya…gadungan!!.”
MasyaAlloh……  AM hanya bisa mengelus dadanya. Ketakutan yang dibayangkannya benar-benar terjadi.
Semua pengajian pada dasarnya baik. Tentu saja karena mengajarkan kebaikan. Namun, pemahaman yang kurang matang dari sang pendengar bisa menyebabkan sebaliknya. Tidak sedikit pula yang malah menafsirkan lain dari yang diajarkan ataupun dari hal-hal yang disampaikan.
Jika dari ta’lim tersebut, su’ul adab hasilnya. Menghalalkan segala cara untuk berbuat baik namun dengan cara yang salah, membantah orangtua.  Marilah kita yang menilai, apakah sang anak layak mendapat syurganya Allah? Wallahu a’lam.

Rabu, 20 April 2011

Aktualisasi Af'al wa aqwal Nabi, Sudahkah kita melakukannya???


Maulid Nabi 1432 H
Saat ini kita telah melewati bulan rabi’ul awal. Bulan kelahiran dari junjungan seluruh ummat islam sedunia yaitu Nabi Muhammad SAW. Sebagian dari muslim pun merayakan peringatan kelahiran Rasul dengan berbagai cara.
Hari kelahiran Nabi atau biasa kita sebut dengan mauled, memang tidak termaktub baik di dalam kitab suci Al-Qur’an ataupun sunnah Nabi. Peringatan ini mulai muncul setelah 3 masa terbaik yakni shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in. Bahkan, tidak sedikit ‘ulama ataupun cendikiawan islam yang menganggap peringatan mauled adalah bi’d’ah yang dapat menyesatkan ummat.
Tidak adanya catatan bahwa Nabi pernah merayakan hari kelahirannya, tidak juga ada anjuran, berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat, lebih mengkultuskannya ummat dengan shalawat yang berlebihan melebihi dzikir kepada Allah ditenggarai sebagai sebab mengapa ada yang menolak melaksanakan mauled.
Namun, dalam suatu riwayat dijelaskan, pernah ada seorang sahabat bertanya kepada Rasul perihal puasanya di hari senin. Rasul pun menjawab “Di hari itu aku dilahirkan, dan di hari itu pula Allah menurunkan wahyu kepadaku". Dalam riwayat lain disebutkan, Abu Lahab paman Nabi, meskipun ia mutlak mendapatkan siksa di neraka, namun di hari senin ia mendapatkan keringanan siksa sebab bergembira karena kelahiran keponakannya.
Bukan hanya itu, disetiap penyelenggaraan maulid, hampir bisa dipastikan banyak ummat yang hadir. Mereka datang untuk bersama-sama membangun ghirah dalam beribadah dan bershalawat. Tidak sedikit pula para dermawan yang bersedekah dan menggembirakan ummat yang hadir. Suasana ukhuwah islamiyyah pun dengan sendirinya terjalin penuh kehangatan.
Bukan hanya merayakan, bergembira saja atas Nabi Muhammad SAW memang dianjurkan serta merupakan bagian daripada ibadah kepada-Nya.
Qs. Yunus : 58  يَجْمَعُونَ مِمَّا خَيْرٌ هُوَ فَلْيَفْرَحُوا فَبِذَلِكَ وَبِرَحْمَتِهِ اللَّهِ بِفَضْلِ قُلْ
" Katakanlah dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya , hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".

Ayat tersebut telah memerintahkan kita untuk bergembira atas rahmat yang Allah berikan kepada kita. Dan rahmat yang terbesar untuk ummat manusia adalah Nabi Muhammad SAW. Allah SWT telah berfirman yang artinya: " Dan aku tidak mengutusmu kecuali sebagi rahmat bagi semua yang ada di alam semesta".
Sebagai ummat terakhir dari Nabi serta Rasul terakhir penyempurna utusan sebelumnya, bergembira akan kelahiran dan jerih payah Muhammad memang bisa diwujudkan dengan berbagai hal. Perbedaan dalam menafsirkan beberapa hal dalam masalah furu’, seperti yang telah disabdakan Nabi, adalah sebuah hikmah.

Sholawat penting, lebih penting lagi uswah yang bersandar kepada Nabi
Shalawat memang istimewa, dalam keadaaan apapun misalnya saja riya’, takabur, dusta dan lain-lain, ibadah ini tetap memiliki nilai lebih dibandingkan dengan ibadah yang lain. Shalawat yang kita ucapkan pun dipastikan akan langsung dihadapkan kepada Rasul. Berbeda dengan dzikir dan kawan-kawannya, kekhusu’an, kerjernihan hati serta keikhlasan menjadi sebuah hal yang harus dilakukan untuk mencapai kesempurnaannya.
Shalawat memang penting. Lebih utama lagi jika uswatun hasanah yang merupakan sifat Rasul, telah kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari melebihi shalawat yang kita lantuntan dengan deraian airmata. Bukan ucapan, tapi perbuatan yang selaras dengan apa yang dianjurkan dan telah diperbuat Rasul. Sudahkah kita melakukannya?
Jika sampai saat ini hanya lantunan shalawat dan pembacaan rentetan sejarah saja yang selalu kita banggakan, apa yang tersisa dari ajaran Rasul, tidak ada. Maka, segala jerih payah yang telah beliau lakukan selama kurang lebih 23 akan hilang dengan percuma. Kecintaan adalah mengikuti apa yang diperintahkan dan dianjurkan. Bukan hanya meng-iyakan apalagi menggembar-gemborkan tanpa adanya aktualisasi dari diri kita sendiri.
Namun, bagaimanapun juga, Rasul hanyalah utusan Allah. Pengkultusan dalam bentuk apapun adalah haram hukumnya. Tidak ada perbuatan yang bisa melebihi kecintaan kita kepada Sang Pencipta yakni Allah SWT.
Maulid adalah sebuah ajang koreksi diri atas perbuatan kita selama ini, sudah sesuaikah dengan apa yang diamanahkan atau malah sebaliknya. Pepatah mengatakan, “Bangsa (ummat) yang besar adalah mereka yang menghargai sejarahnya”. Memandang penting dan merealisasikan apa-apa yang terbaik yang pernah terjadi.
Jadi, lebih dari sekedar bersholawat kepada junjungan Nabi Muhammad, mengaktualisasikan apa-apa yang pernah terucap dan pernah diperbuat Nabi di dalam kehidupan kita saat ini menjadi lebih penting. Sudahkah kita melakukannya??? Jika belum dan hanya “membanggakan” ritual shalawat semata, pantaskah kita menyebut diri sebagai uammatnya??? Waallahu a’lam bishowab…